Sabtu, 16 April 2016

Sepotong Sejarah Untuk Indonesia



Sesuai kontrak pengadaan 16 pesawat F-5E/F maka tahun 1979, Indonesia mengirim beberapa penerbang TNI AU ke USAF untuk melaksanakan pendidikan konversi di F-5. Mereka yang ditunjuk dan diberangkatkan oleh TNI AU ke William Air Force Base, Markas F-5E/F USAF, adalah Mayor Holki BK (Saat itu menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 14), Mayor Budihardio Surono dan Kapten Lambert Silooy. Akan tetapi, karena Lambert Silooy sakit, akhirnya digantikan oleh Kapten Zeky Ambadar. Holki dan Budihardjo tiba duluan di AS pada Desember 1979, sedangkan Zeky Ambadar tiba pada Januari 1980.



KSAU pada saat itu Marsekal Ashadi Tjahjadi usai terbang menggunakan F-5F dengan pilot Letkol Holki BK. Tampak dalam foto ia tengah berbincang -bincang dengan Kapten Lambert Silooy dan Kapten Zeky Ambadar.


Setelah lulus menjalani berbagai tes, ketiga penerbang TNI AU kemudian berlatih terbang di William AFB, Arizona menggunakan T-38. Tepatnya lagi di Skadron 425th yang dilengkapi 25 F-5E, 2 F-5F, dan 9 F-5B. Di situ penerbang TNI AU dididik bareng dengan penerbang dan negara lain yang menggunakan F-5 sekaligus tempat lahirnya pilot pertama F-5.

Tidak hanya pendidikan konversi saja, pendidikan juga meliputi penguasaan pertempuran udara dan penyerangan terhadap sasaran di daratan. Total mereka menjalani pendidikan selama 39,2 jam yang selesai dalam tempo 85 hari termasuk Basic Fighter Manuever (BFM), Air Combat Maneuver (ACM) dan Air Combat Tactic (ACT).
Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke tahap pendidikan instruktur sehingga diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada para penerbang lain di dalam negeri masing-masing.

Pendidikan langsung penerbang F-5 di sarangnya merupakan nilai yang amat berharga. Para penerbang dari masing-masing negara dididik terbang dalam kokpit F-5 untuk merasakan langsung bentuk pertempuran udara secara rill. Dapat dibayangkan, bagaimana beban mereka harus bisa menerima semua pelajaran yang diberikan dan mengaplikasikannya kelak termasuk mentransfer ilmunya kepada para penerbang muda. Namun ternyata, lebih dari itu kebanggaan besar didapat Indonesia karena Eagle 03 yakni Kapten Pnb Zeky Ambadar berhasil menjadi lulusan terbaik dan menerima Top Gun Award, sekaligus mengalahkan penerbang-penerbang F-5 dari negara lain.


Mayor Holki BK (tengah ) bersama dengan Mayor Budihardjo Surono (kiri) dan Kapten Zeky Ambadar (kanan) saat berfoto di William Air Force Base Arizona. Mereka adalah tiga orang penerbang TNI AU pertama yang dikirim ke Amerika untuk mengikuti pendidikan Konversi I pesawat F-5E/F.




Selain mengirimkan penerbangnya, TNI AU juga mengirimkan tenaga teknik yang tidak kalah pentingnya dalam alih teknologi penggunaan pesawat baru ini. Mereka yang dikirim adalah teknisi senior Skadron Udara 14 yang bergabung dengan personel dari satuan lain yang terlibat dalam proyek pembelian F-5E/F Tiger II. Yakni personel dari Depo Senjata (sekarang Depohar 60) dan dari Skadron Avionik 021 (sekarang Depohar 20). Rombongan teknisi Skadron Udara 14 dipimpin Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 14 Kaptek Tek Sutjondro. Sedangkan personel Depo Senjata dipimpin Kapten Tek Miran dan personel Skadron Avionik 021 dipimpin Kapten Lek Wahono.
Pengiriman teknisi jauh lebih awal dari pengiriman penerbang, yakni pada September 1979 dari Bandara Halim Perdanakusuma via Narita Tokyo. Di William AFB para teknisi mendapat pendidikan di FTO 528 yang berada di bawah naungan William AFB. Mereka dididik selama tujuh bulan. Pendidikan berakhir pada Januari 1980 dan setelah itu para teknisi kembali lagi ke Tanah Air.

Luar biasa kemampuan para teknisi dalam merakit pesawat F-5 walau masih dibimbing oleh teknisi dari pihak Northrop. Hanya seminggu setelah proses kedatangan F-5 di Madiun, proses perakitan bisa dirampungkan. Setelah itu F-5F nomor TL-0514 (angka ini menunjukkan pesawat F-5, dan Skadron Udara 14 – kode TL saat ini telah berubah menjadi TS) berhasil melakukan penerbangan. Itulah penerbangan pertama yang dilakukan F-5 di negeri bernama Indonesia. Setelah berhasil mengudara, pilot uji dari AS melakukan penerbangan sonic boom tanda bahwa F-5 telah lulus uji terbang.

Tuntas semua perakitan, tiga penerbang F-5 TNI AU yang dikirim ke AS pun mulai melakukan pendidikan konversi kepada penerbang di dalam negeri dibantu instruktur dari AS. Konversi Angkatan Kedua diisi dengan siswa Kapten Pnb Lambert F Silooy yang batal dikirim ke AS karena waktu itu sakit, serta Kapten Pnb Suprihadi. Berikutnya konversi penerbang F-5 dilaksanakan hingga Angkatan ke VIII. Angkatan I sendiri adalah untuk ketiga penerbang pertama yang dikirim ke AS. Para penerbang yang telah lulus, selanjutnya berhak mendapatkan Eagle Number dimulai Eagle 01, 02, 03 dan seterusnya. Sementara Eagle 00 digunakan temporer untuk jabatan komandan skadron yang sedang menjabat.

Dalam waktu satu tahun, pendidikan konversi berhasil menelurkan empat angkatan terdiri dari 12 mantan penerbang F-86 yakni Lambert Silooy, Suprihadi, Rudi Taran, Djoko Suyanto, Toto Riyanto, Ida Bagus Sanubari, M Basri Sidehabi, Tanwir Umar, Eris Herryanto, Drajad Rahardjo, Suryadarma, Imam Sufaat, dan Sumarwoto.

Eagle-eagle baru di Skadron Udara 14 terus lahir. Di sela-sela pelaksanaan In Country Training Skadron Udara 14 juga tak lepas melaksanakan latihan dan misi yang menjadi bagian dari tugas pokoknya. Enam bulan setelah dioperasikan oleh TNI AU, F-5 melakukan penerbangan jelajah pertama ke tanah Papua. Misi yang diemban adalah memperkenalkan armada baru F-5E/F Tiger II mulai dari Medan hingga Papua.

Terbang ke pelosok Tanah Air buat para penerbang mungkin bukan menjadi hal yang baru. Akan tetapi, duduk di kokpit yang baru dikenal dan terasa masih “asing” adalah pengalaman tersendiri buat mereka. Pendaratan di Papua sebenarnya sedikit gambling bagi F-5 mengingat syarat untuk take off maupun landing pesawat F-5 adalah sepanjang 1.800 meter. Sementara di Jayapura, panjang landasannya hanya 1.600 meter. Itulah, entah kehebatan penerbangnya atau nekat, toh pendaratan dan lepas landas di Jayapura tidak ada masalah.

Pengalaman lain yang tak kalah mengerikan adalah ketika F-5 melakukan penerbangan jelajah menuju Medan. Kala itu November 1980, lima pesawat terbang dari Madiun ke Medan melalui stop over di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tidak ada masalah saat penerbangan ke Halim. Masalah baru tiba manakala kelima pesawat terbang menuju Medan. Mereka dihadang cuaca buruk di sekitar Palembang. Holki BK sebagai leader mengambil inisiatif dan memerintahkan anggotanya untuk menanjak ke ketinggian 37.000 kaki. Mereka naik menggunakan kekuatan maksimun dengan afterburner. Pada saat itulah para penerbang mengetahui bahwa dengan terbang menanjak menggunakan afterburner pada cuaca yang buruk tidak banyak membantu.

Akhirnya Holki memerintahkan untuk menanjak dengan cara normal. Tapi, ini pun tidak efektif karena awan semakin padat dan para penerbang mengalami disorientasi tak tahu posisi masing-masing. Akhirnya formasi pun berpencar. Nasib buruk kemudian menimpa pesawat leader dengan pilot Holki BK. Ia terombang-ambing dan terkena spin. Pesawat berputar dan meluncur ke bawah, untunglah sebelum jatuh menghujam Bumi, Holki berhasil keluar dari spin dan menguasai pesawat.

Penerbangan dilanjutkan menuju Medan secara terpisah. Ketika mendekati Medan, para penerbang meminta prioritas pendaratan akibat persediaan bahan bakar yang makin menipis. Berkat lindungan Tuhan, kelima pesawat berhasil juga berkumpul di Medan. Seolah tidak terjadi apa-apa, para penerbang F-5 pun melupakan pengalaman buruk yang baru dilewati.

Meski begitu, kejadian serupa kembali dialami ketika mereka pulang dari Medan. Mereka terbang menanjak ke ketinggian 31.000 kaki dan setelah itu ke 35.000 kaki. Di atas Semarang semua penerbang baru menyadari kalau penggunaan bahan bakar di pesawat tidak sesuai dengan perhitungan di darat. Rupanya akibat setting power yang berubah-ubah dan pengaruh kondisi cuaca, menyebabkan penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Akhirnya, leader memutuskan agar mereka kembali berpencar dan terbang dengan separasi menuju Lanud. Kepada petugas Tower Iswahjudi pun, mereka meminta prioritas mendarat dan siaga penanganan bila terjadi apa-apa.

Pengalaman buruk lainnya, dialami Letkol Pnb Holki saat terbang dengan Kapten Pnb Suprihadi. Yaitu ketika kanopi pesawat F-5F tiba-tiba pecah di udara. Kala itu di ketinggian 30.000 kaki, Holki duduk di depan sementara Suprihadi duduk di kursi belakang. Beruntunglah windshield depan tidak pecah sehingga Holki masih bisa mengendalikan pesawat. Dan beruntung pula karena pada saat itu cuaca cerah alias tidak sedang hujan. Bila hujan, akan lebih gawat lagi karena seluruh kelistrikan pesawat harus dimatikan agar tidak terjadi hubungan arus pendek. Dengan tenang Holki menurunkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki. Setelah sampai di darat, kerusakan pun diselidiki. Ternyata pengatur tekanan udara di kokpit tersumbat benda asing sehingga tekanan di dalam kokpit meningkat dan memecahkan kanopi.

Keluarga besar F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 juga patut berbangga karena salah satu penerbangnya, yakni Djoko Suyanto berhasil menjadi KSAU, lalu Panglima TNI dan kemudian menjabat sebagai Menkopolhukam.

Sumber : https://sejarahperang.wordpress.com