• Enter Slide 1 Title Here

  • Enter Slide 2 Title Here

  • Enter Slide 3 Title Here

Kamis, 05 Januari 2017

SYEKH SUBAKIR PENUMBAL TANAH JAWA



Tak banyak orang tahu dan mengenal nama Syekh Subakir. Padahal Syekh Subakir adalah salah seorang ulama Wali Songo periode pertama yang dikirim khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Nusantara.
Syekh Subakir konon adalah seorang ulama besar yang telah menumbal tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di nusantara.
Kisahnya dimulai saat Sultan Muhammad I, bermimpi mendapat wangsit untuk menyebarkan dakwah Islam ke tanah Jawa.
Adapun mubalighnya diharuskan berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Sehingga dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, berdakwah, pengobatan, tumbal atau rukyah, dan lain-lain.
Lalu dikirimlah beberapa ulama ke Nusantara atau tanah Jawa. Namun sudah beberapa kali utusan dari Kesultanan Turki Utsmaniyah yang datang ke tanah Jawa, untuk menyebarkan agama Islam tapi pada umumnya mengalami kegagalan.
Penyebabnya masyarakat Jawa saat itu sangat memegang teguh kepercayaannya. Sehingga para ulama yang dikirim mendapatkan halangan karena meskipun berkembang tetapi ajaran Agama Islam hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas.
Selain itu konon, Pulau Jawa saat itu masih merupakan hutan belantara angker yang dipenuhi makhluk halus dan jin-jin jahat.
Lalu diutuslah Syekh Subakir ulama asal Persia yang ahli dalam merukyah, ekologi, meteorologi dan geofisika ke tanah Jawa.
Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah gaib dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa ketika itu.
Berdasarkan Babad Tanah Jawa, setelah sampai ke nusantara, Syekh Subakir yang menguasai ilmu gaib dan dapat menerawang makhluk halus mengetahui penyebab utama kegagalan para ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam karena dihalangi para jin dan dedemit penunggu tanah Jawa.

Para jin, dedemit dan lelembut tersebut bisa merubah wujud menjadi ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya dan menjadi angin puting beliung yang mampu memporakporandakan apa saja yang berada di depannya.
Selain itu para jin kafir dan bangsa lelembut tersebut juga bisa berubah wujud menjadi hewan buas yang mencelakakan para ulama pendahulu tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut, konon Syekh Subakir membawa batu hitam dari Arab yang telah dirajah.

Lalu batu dengan nama Rajah Aji Kalacakra tersebut dipasang di tengah-tengah tanah Jawa yaitu di Puncak Gunung Tidar, Magelang. Karena, Gunung Tidar dipercayai sebagai titik sentral atau pakunya tanah Jawa.
Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam tersebut menimbulkan gejolak.

Alam yang tadinya cerah dan sejuk, matahari bersinar terang, damai dengan kicau burung. Tiba-tiba berubah drastis selama tiga hari tiga malam.
Cuaca mendung, angin bergerak cepat, kilat menyambar menimbulkan hujan api. gunung-gunung bergemuruh tiada henti.
Lelembut, setan, siluman lari menyelamatkan diri. Jin, peri, banaspati, kuntilanak, jailangkung, semua hanyut dalam air karena tak kuat menahan panasnya pancaran batu hitam tersebut. Makhluk halus yang masih hidup pun mengungsi ke lautan.
Sebagian jin yang lain ada yang mati akibat hawa panas dari tumbal yang dipasang Syekh Subakir tersebut.
Melihat hal itu, konon Sabda Palon, raja bangsa jin yang telah 9.000 tahun bersemayam di Puncak Gunung Tidar terusik dan keluar mencari penyebab timbulnya hawa panas bagi bangsa jin dan lelembut.

Sabda Palon lalu berhadapan dengan Syekh Subakir. Sabda Palon lalu menanyakan maksud pemasangan batu hitam tersebut.
Sang ulama menyatakan, maksud dia, menancapkan batu hitam itu untuk mengusir bangsa jin dan lelembut yang mengganggu upaya penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa oleh para ulama utusan khalifah Turki Utsmaniyah.
Setelah terjadi perdebatan mereka segera mengadu kesaktian. Konon pertempuran antara keduanya terjadi selama 40 hari 40 malam, hingga Sabda Palon yang juga dikenal sebagai Ki Semar Badranaya sang Danyang tanah Jawa ini merasa kewalahan dan menawarkan perundingan.
Sabda Palon mensyaratkan beberapa point dalam upaya penyebaran Islam di tanah Jawa.
Isi kesepakatan antara lain, Sabda Palon memberi kesempatan kepada Syekh Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan cara memaksa.
Kemudian Sabda Palon juga memberi kesempatan kepada orang Islam untuk berkuasa di tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan.
Para Raja Islam itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adat istiadat dan budaya yang ada. Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang diakuinya, tetapi biarlah adat dan budaya berkembang sedemikian rupa. Syarat-syarat itu pun akhirnya disetujui Syekh Subakir.

Selain di Puncak Gunung Tidar, Syekh Subakir juga membersihkan beberapa tempat angker di tanah Jawa yang dikuasai para raja jin dan makhluk halus lainnya.
Dalam versi lain diceritakan untuk membersihkan wilayah Gunung Tidar dari bangsa jin,  Syekh Subakir membawa senjata pusaka berupa Tombak Kiai Panjang.
Lalu tombak pusaka tersebut ditancapkan tepat di Puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi para lelembut dan bangsa jin yang berdiam di Gunung Tidar.
Mereka pun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Sebagian pengikut Sabda Palon dari bangsa jin melarikan diri ke timur dan konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker.
Bahkan sebagian lagi anak buah Sabda Palon ada yang melarikan diri ke alas Roban, dan ke Gunung Srandil.

Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan ditempatkan di Puncak Gunung Tidar dengan nama Makam Tombak Kiai Panjang.
Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus

Karena keberhasilannya menumbal tanah Jawa lalu penyebaran Islam oleh Wali Songo periode pertama menjadi menjadi lancar.
Nama Syekh Subakir lalu menjadi sangat terkenal dan dikagumi di kalangan para pendekar, penganut ilmu gaib dan kanuragan, bangsawan serta masyarakat di tanah Jawa ketika itu. Sehingga mereka terkesan mendewakan sang ulama asal Persia tersebut.
Akhirnya, untuk melepaskan kefanatikan masyarakat terhadap Syekh Subakir dan untuk menjaga aqidah umat Islam. Maka pada tahun 1462 Masehi, Syekh Subakir pulang ke Persia, Iran.
Ini dimaksudkan agar kefanatikan tersebut runtuh, dan masyarakat kembali kepada tauhid yang benar.

Selain itu tugas utama Syekh Subakir untuk membersihkan tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus telah selesai.
Selanjutnya setelah Syekh Subakir wafat posisinya digantikan oleh Wali Songo lainnya yaitu Sunan Kalijaga.



Dibawah ini adalah dialog antara Sabda Palon dengan Syekh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi imaginer penulis yang diolah dari hikayat dengan bahasa penulis sendiri.

Syekh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.

Sabda Palon : Aku ini Sabda Palon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala.  Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabda Palon.

Syekh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syekh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.

Sabda Palon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?

Syekh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.

Sabda Palon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.

Syekh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.

Sabda Palon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?

Syekh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.

Sabda Palon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?

Syekh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?

Sabda Palon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.

Syekh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.

Sabda Palon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.

Syekh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.

Sabda Palon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.

Syekh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.

Sabda Palon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.

Syekh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?

Sabda Palon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.

Syekh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.


Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.

Sabtu, 16 April 2016

Sepotong Sejarah Untuk Indonesia



Sesuai kontrak pengadaan 16 pesawat F-5E/F maka tahun 1979, Indonesia mengirim beberapa penerbang TNI AU ke USAF untuk melaksanakan pendidikan konversi di F-5. Mereka yang ditunjuk dan diberangkatkan oleh TNI AU ke William Air Force Base, Markas F-5E/F USAF, adalah Mayor Holki BK (Saat itu menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 14), Mayor Budihardio Surono dan Kapten Lambert Silooy. Akan tetapi, karena Lambert Silooy sakit, akhirnya digantikan oleh Kapten Zeky Ambadar. Holki dan Budihardjo tiba duluan di AS pada Desember 1979, sedangkan Zeky Ambadar tiba pada Januari 1980.



KSAU pada saat itu Marsekal Ashadi Tjahjadi usai terbang menggunakan F-5F dengan pilot Letkol Holki BK. Tampak dalam foto ia tengah berbincang -bincang dengan Kapten Lambert Silooy dan Kapten Zeky Ambadar.


Setelah lulus menjalani berbagai tes, ketiga penerbang TNI AU kemudian berlatih terbang di William AFB, Arizona menggunakan T-38. Tepatnya lagi di Skadron 425th yang dilengkapi 25 F-5E, 2 F-5F, dan 9 F-5B. Di situ penerbang TNI AU dididik bareng dengan penerbang dan negara lain yang menggunakan F-5 sekaligus tempat lahirnya pilot pertama F-5.

Tidak hanya pendidikan konversi saja, pendidikan juga meliputi penguasaan pertempuran udara dan penyerangan terhadap sasaran di daratan. Total mereka menjalani pendidikan selama 39,2 jam yang selesai dalam tempo 85 hari termasuk Basic Fighter Manuever (BFM), Air Combat Maneuver (ACM) dan Air Combat Tactic (ACT).
Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke tahap pendidikan instruktur sehingga diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada para penerbang lain di dalam negeri masing-masing.

Pendidikan langsung penerbang F-5 di sarangnya merupakan nilai yang amat berharga. Para penerbang dari masing-masing negara dididik terbang dalam kokpit F-5 untuk merasakan langsung bentuk pertempuran udara secara rill. Dapat dibayangkan, bagaimana beban mereka harus bisa menerima semua pelajaran yang diberikan dan mengaplikasikannya kelak termasuk mentransfer ilmunya kepada para penerbang muda. Namun ternyata, lebih dari itu kebanggaan besar didapat Indonesia karena Eagle 03 yakni Kapten Pnb Zeky Ambadar berhasil menjadi lulusan terbaik dan menerima Top Gun Award, sekaligus mengalahkan penerbang-penerbang F-5 dari negara lain.


Mayor Holki BK (tengah ) bersama dengan Mayor Budihardjo Surono (kiri) dan Kapten Zeky Ambadar (kanan) saat berfoto di William Air Force Base Arizona. Mereka adalah tiga orang penerbang TNI AU pertama yang dikirim ke Amerika untuk mengikuti pendidikan Konversi I pesawat F-5E/F.




Selain mengirimkan penerbangnya, TNI AU juga mengirimkan tenaga teknik yang tidak kalah pentingnya dalam alih teknologi penggunaan pesawat baru ini. Mereka yang dikirim adalah teknisi senior Skadron Udara 14 yang bergabung dengan personel dari satuan lain yang terlibat dalam proyek pembelian F-5E/F Tiger II. Yakni personel dari Depo Senjata (sekarang Depohar 60) dan dari Skadron Avionik 021 (sekarang Depohar 20). Rombongan teknisi Skadron Udara 14 dipimpin Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 14 Kaptek Tek Sutjondro. Sedangkan personel Depo Senjata dipimpin Kapten Tek Miran dan personel Skadron Avionik 021 dipimpin Kapten Lek Wahono.
Pengiriman teknisi jauh lebih awal dari pengiriman penerbang, yakni pada September 1979 dari Bandara Halim Perdanakusuma via Narita Tokyo. Di William AFB para teknisi mendapat pendidikan di FTO 528 yang berada di bawah naungan William AFB. Mereka dididik selama tujuh bulan. Pendidikan berakhir pada Januari 1980 dan setelah itu para teknisi kembali lagi ke Tanah Air.

Luar biasa kemampuan para teknisi dalam merakit pesawat F-5 walau masih dibimbing oleh teknisi dari pihak Northrop. Hanya seminggu setelah proses kedatangan F-5 di Madiun, proses perakitan bisa dirampungkan. Setelah itu F-5F nomor TL-0514 (angka ini menunjukkan pesawat F-5, dan Skadron Udara 14 – kode TL saat ini telah berubah menjadi TS) berhasil melakukan penerbangan. Itulah penerbangan pertama yang dilakukan F-5 di negeri bernama Indonesia. Setelah berhasil mengudara, pilot uji dari AS melakukan penerbangan sonic boom tanda bahwa F-5 telah lulus uji terbang.

Tuntas semua perakitan, tiga penerbang F-5 TNI AU yang dikirim ke AS pun mulai melakukan pendidikan konversi kepada penerbang di dalam negeri dibantu instruktur dari AS. Konversi Angkatan Kedua diisi dengan siswa Kapten Pnb Lambert F Silooy yang batal dikirim ke AS karena waktu itu sakit, serta Kapten Pnb Suprihadi. Berikutnya konversi penerbang F-5 dilaksanakan hingga Angkatan ke VIII. Angkatan I sendiri adalah untuk ketiga penerbang pertama yang dikirim ke AS. Para penerbang yang telah lulus, selanjutnya berhak mendapatkan Eagle Number dimulai Eagle 01, 02, 03 dan seterusnya. Sementara Eagle 00 digunakan temporer untuk jabatan komandan skadron yang sedang menjabat.

Dalam waktu satu tahun, pendidikan konversi berhasil menelurkan empat angkatan terdiri dari 12 mantan penerbang F-86 yakni Lambert Silooy, Suprihadi, Rudi Taran, Djoko Suyanto, Toto Riyanto, Ida Bagus Sanubari, M Basri Sidehabi, Tanwir Umar, Eris Herryanto, Drajad Rahardjo, Suryadarma, Imam Sufaat, dan Sumarwoto.

Eagle-eagle baru di Skadron Udara 14 terus lahir. Di sela-sela pelaksanaan In Country Training Skadron Udara 14 juga tak lepas melaksanakan latihan dan misi yang menjadi bagian dari tugas pokoknya. Enam bulan setelah dioperasikan oleh TNI AU, F-5 melakukan penerbangan jelajah pertama ke tanah Papua. Misi yang diemban adalah memperkenalkan armada baru F-5E/F Tiger II mulai dari Medan hingga Papua.

Terbang ke pelosok Tanah Air buat para penerbang mungkin bukan menjadi hal yang baru. Akan tetapi, duduk di kokpit yang baru dikenal dan terasa masih “asing” adalah pengalaman tersendiri buat mereka. Pendaratan di Papua sebenarnya sedikit gambling bagi F-5 mengingat syarat untuk take off maupun landing pesawat F-5 adalah sepanjang 1.800 meter. Sementara di Jayapura, panjang landasannya hanya 1.600 meter. Itulah, entah kehebatan penerbangnya atau nekat, toh pendaratan dan lepas landas di Jayapura tidak ada masalah.

Pengalaman lain yang tak kalah mengerikan adalah ketika F-5 melakukan penerbangan jelajah menuju Medan. Kala itu November 1980, lima pesawat terbang dari Madiun ke Medan melalui stop over di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tidak ada masalah saat penerbangan ke Halim. Masalah baru tiba manakala kelima pesawat terbang menuju Medan. Mereka dihadang cuaca buruk di sekitar Palembang. Holki BK sebagai leader mengambil inisiatif dan memerintahkan anggotanya untuk menanjak ke ketinggian 37.000 kaki. Mereka naik menggunakan kekuatan maksimun dengan afterburner. Pada saat itulah para penerbang mengetahui bahwa dengan terbang menanjak menggunakan afterburner pada cuaca yang buruk tidak banyak membantu.

Akhirnya Holki memerintahkan untuk menanjak dengan cara normal. Tapi, ini pun tidak efektif karena awan semakin padat dan para penerbang mengalami disorientasi tak tahu posisi masing-masing. Akhirnya formasi pun berpencar. Nasib buruk kemudian menimpa pesawat leader dengan pilot Holki BK. Ia terombang-ambing dan terkena spin. Pesawat berputar dan meluncur ke bawah, untunglah sebelum jatuh menghujam Bumi, Holki berhasil keluar dari spin dan menguasai pesawat.

Penerbangan dilanjutkan menuju Medan secara terpisah. Ketika mendekati Medan, para penerbang meminta prioritas pendaratan akibat persediaan bahan bakar yang makin menipis. Berkat lindungan Tuhan, kelima pesawat berhasil juga berkumpul di Medan. Seolah tidak terjadi apa-apa, para penerbang F-5 pun melupakan pengalaman buruk yang baru dilewati.

Meski begitu, kejadian serupa kembali dialami ketika mereka pulang dari Medan. Mereka terbang menanjak ke ketinggian 31.000 kaki dan setelah itu ke 35.000 kaki. Di atas Semarang semua penerbang baru menyadari kalau penggunaan bahan bakar di pesawat tidak sesuai dengan perhitungan di darat. Rupanya akibat setting power yang berubah-ubah dan pengaruh kondisi cuaca, menyebabkan penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Akhirnya, leader memutuskan agar mereka kembali berpencar dan terbang dengan separasi menuju Lanud. Kepada petugas Tower Iswahjudi pun, mereka meminta prioritas mendarat dan siaga penanganan bila terjadi apa-apa.

Pengalaman buruk lainnya, dialami Letkol Pnb Holki saat terbang dengan Kapten Pnb Suprihadi. Yaitu ketika kanopi pesawat F-5F tiba-tiba pecah di udara. Kala itu di ketinggian 30.000 kaki, Holki duduk di depan sementara Suprihadi duduk di kursi belakang. Beruntunglah windshield depan tidak pecah sehingga Holki masih bisa mengendalikan pesawat. Dan beruntung pula karena pada saat itu cuaca cerah alias tidak sedang hujan. Bila hujan, akan lebih gawat lagi karena seluruh kelistrikan pesawat harus dimatikan agar tidak terjadi hubungan arus pendek. Dengan tenang Holki menurunkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki. Setelah sampai di darat, kerusakan pun diselidiki. Ternyata pengatur tekanan udara di kokpit tersumbat benda asing sehingga tekanan di dalam kokpit meningkat dan memecahkan kanopi.

Keluarga besar F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 juga patut berbangga karena salah satu penerbangnya, yakni Djoko Suyanto berhasil menjadi KSAU, lalu Panglima TNI dan kemudian menjabat sebagai Menkopolhukam.

Sumber : https://sejarahperang.wordpress.com