Sesuai
kontrak pengadaan 16 pesawat F-5E/F maka tahun 1979, Indonesia mengirim beberapa penerbang
TNI AU ke USAF untuk melaksanakan pendidikan konversi di F-5. Mereka yang
ditunjuk dan diberangkatkan oleh TNI AU ke William Air Force Base, Markas
F-5E/F USAF, adalah Mayor Holki BK (Saat itu menjabat sebagai Komandan Skadron Udara
14), Mayor Budihardio Surono dan Kapten Lambert Silooy. Akan tetapi, karena
Lambert Silooy sakit, akhirnya digantikan oleh Kapten Zeky Ambadar. Holki dan
Budihardjo tiba duluan di AS pada Desember 1979, sedangkan Zeky Ambadar tiba
pada Januari 1980.
KSAU pada saat itu Marsekal Ashadi Tjahjadi usai terbang menggunakan F-5F dengan
pilot Letkol Holki BK. Tampak dalam foto ia tengah berbincang -bincang dengan
Kapten Lambert Silooy dan Kapten Zeky Ambadar.
Setelah
lulus menjalani berbagai tes, ketiga penerbang TNI AU kemudian berlatih terbang
di William AFB, Arizona menggunakan T-38. Tepatnya lagi di Skadron 425th yang
dilengkapi 25 F-5E, 2 F-5F, dan 9 F-5B. Di situ penerbang TNI AU dididik bareng
dengan penerbang dan negara lain yang menggunakan F-5 sekaligus tempat lahirnya
pilot pertama F-5.
Tidak
hanya pendidikan konversi saja, pendidikan juga meliputi penguasaan pertempuran
udara dan penyerangan terhadap sasaran di daratan. Total mereka menjalani
pendidikan selama 39,2 jam yang selesai dalam tempo 85 hari termasuk Basic
Fighter Manuever (BFM), Air Combat Maneuver (ACM) dan Air Combat Tactic (ACT).
Setelah itu pendidikan dilanjutkan ke tahap pendidikan instruktur sehingga
diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada para penerbang lain di dalam
negeri masing-masing.
Pendidikan
langsung penerbang F-5 di sarangnya merupakan nilai yang amat berharga. Para
penerbang dari masing-masing negara dididik terbang dalam kokpit F-5 untuk
merasakan langsung bentuk pertempuran udara secara rill. Dapat dibayangkan,
bagaimana beban mereka harus bisa menerima semua pelajaran yang diberikan dan
mengaplikasikannya kelak termasuk mentransfer ilmunya kepada para penerbang
muda. Namun ternyata, lebih dari itu kebanggaan besar didapat Indonesia karena
Eagle 03 yakni Kapten Pnb Zeky Ambadar berhasil menjadi lulusan terbaik dan
menerima Top Gun Award, sekaligus mengalahkan penerbang-penerbang F-5 dari
negara lain.
Mayor
Holki BK (tengah ) bersama dengan Mayor Budihardjo Surono (kiri) dan Kapten
Zeky Ambadar (kanan) saat berfoto di William Air Force Base Arizona. Mereka
adalah tiga orang penerbang TNI AU pertama yang dikirim ke Amerika untuk
mengikuti pendidikan Konversi I pesawat F-5E/F.
Selain
mengirimkan penerbangnya, TNI AU juga mengirimkan tenaga teknik yang tidak
kalah pentingnya dalam alih teknologi penggunaan pesawat baru ini. Mereka yang
dikirim adalah teknisi senior Skadron Udara 14 yang bergabung dengan personel
dari satuan lain yang terlibat dalam proyek pembelian F-5E/F Tiger II. Yakni
personel dari Depo Senjata (sekarang Depohar 60) dan dari Skadron Avionik 021
(sekarang Depohar 20). Rombongan teknisi Skadron Udara 14 dipimpin Kepala Dinas
Pemeliharaan Skadron Udara 14 Kaptek Tek Sutjondro. Sedangkan personel Depo
Senjata dipimpin Kapten Tek Miran dan personel Skadron Avionik 021 dipimpin
Kapten Lek Wahono.
Pengiriman
teknisi jauh lebih awal dari pengiriman penerbang, yakni pada September 1979
dari Bandara Halim Perdanakusuma via Narita Tokyo. Di William AFB para teknisi
mendapat pendidikan di FTO 528 yang berada di bawah naungan William AFB. Mereka
dididik selama tujuh bulan. Pendidikan berakhir pada Januari 1980 dan setelah
itu para teknisi kembali lagi ke Tanah Air.
Luar
biasa kemampuan para teknisi dalam merakit pesawat F-5 walau masih dibimbing
oleh teknisi dari pihak Northrop. Hanya seminggu setelah proses kedatangan F-5
di Madiun, proses perakitan bisa dirampungkan. Setelah itu F-5F nomor TL-0514
(angka ini menunjukkan pesawat F-5, dan Skadron Udara 14 – kode TL saat ini
telah berubah menjadi TS) berhasil melakukan penerbangan. Itulah penerbangan
pertama yang dilakukan F-5 di negeri bernama Indonesia. Setelah berhasil
mengudara, pilot uji dari AS melakukan penerbangan sonic boom tanda bahwa F-5
telah lulus uji terbang.
Tuntas
semua perakitan, tiga penerbang F-5 TNI AU yang dikirim ke AS pun mulai
melakukan pendidikan konversi kepada penerbang di dalam negeri dibantu
instruktur dari AS. Konversi Angkatan Kedua diisi dengan siswa Kapten Pnb
Lambert F Silooy yang batal dikirim ke AS karena waktu itu sakit, serta Kapten
Pnb Suprihadi. Berikutnya konversi penerbang F-5 dilaksanakan hingga Angkatan
ke VIII. Angkatan I sendiri adalah untuk ketiga penerbang pertama yang dikirim
ke AS. Para penerbang yang telah lulus, selanjutnya berhak mendapatkan Eagle
Number dimulai Eagle 01, 02, 03 dan seterusnya. Sementara Eagle 00 digunakan
temporer untuk jabatan komandan skadron yang sedang menjabat.
Dalam
waktu satu tahun, pendidikan konversi berhasil menelurkan empat angkatan
terdiri dari 12 mantan penerbang F-86 yakni Lambert Silooy, Suprihadi, Rudi
Taran, Djoko Suyanto, Toto Riyanto, Ida Bagus Sanubari, M Basri Sidehabi,
Tanwir Umar, Eris Herryanto, Drajad Rahardjo, Suryadarma, Imam Sufaat, dan
Sumarwoto.
Eagle-eagle baru di Skadron Udara 14 terus lahir. Di sela-sela pelaksanaan In Country Training
Skadron Udara 14 juga tak lepas melaksanakan latihan dan misi yang menjadi
bagian dari tugas pokoknya. Enam bulan setelah dioperasikan oleh TNI AU, F-5
melakukan penerbangan jelajah pertama ke tanah Papua. Misi yang diemban adalah
memperkenalkan armada baru F-5E/F Tiger II mulai dari Medan hingga Papua.
Terbang
ke pelosok Tanah Air buat para penerbang mungkin bukan menjadi hal yang baru.
Akan tetapi, duduk di kokpit yang baru dikenal dan terasa masih “asing” adalah
pengalaman tersendiri buat mereka. Pendaratan di Papua sebenarnya sedikit
gambling bagi F-5 mengingat syarat untuk take off maupun landing pesawat F-5
adalah sepanjang 1.800 meter. Sementara di Jayapura, panjang landasannya hanya
1.600 meter. Itulah, entah kehebatan penerbangnya atau nekat, toh pendaratan
dan lepas landas di Jayapura tidak ada masalah.
Pengalaman
lain yang tak kalah mengerikan adalah ketika F-5 melakukan penerbangan jelajah
menuju Medan. Kala itu November 1980, lima pesawat terbang dari Madiun ke Medan
melalui stop over di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tidak ada masalah saat
penerbangan ke Halim. Masalah baru tiba manakala kelima pesawat terbang menuju
Medan. Mereka dihadang cuaca buruk di sekitar Palembang. Holki BK sebagai
leader mengambil inisiatif dan memerintahkan anggotanya untuk menanjak ke
ketinggian 37.000 kaki. Mereka naik menggunakan kekuatan maksimun dengan
afterburner. Pada saat itulah para penerbang mengetahui bahwa dengan terbang
menanjak menggunakan afterburner pada cuaca yang buruk tidak banyak membantu.
Akhirnya
Holki memerintahkan untuk menanjak dengan cara normal. Tapi, ini pun tidak
efektif karena awan semakin padat dan para penerbang mengalami disorientasi tak
tahu posisi masing-masing. Akhirnya formasi pun berpencar. Nasib buruk kemudian
menimpa pesawat leader dengan pilot Holki BK. Ia terombang-ambing dan terkena
spin. Pesawat berputar dan meluncur ke bawah, untunglah sebelum jatuh menghujam
Bumi, Holki berhasil keluar dari spin dan menguasai pesawat.
Penerbangan
dilanjutkan menuju Medan secara terpisah. Ketika mendekati Medan, para
penerbang meminta prioritas pendaratan akibat persediaan bahan bakar yang makin
menipis. Berkat lindungan Tuhan, kelima pesawat berhasil juga berkumpul di
Medan. Seolah tidak terjadi apa-apa, para penerbang F-5 pun melupakan
pengalaman buruk yang baru dilewati.
Meski
begitu, kejadian serupa kembali dialami ketika mereka pulang dari Medan. Mereka
terbang menanjak ke ketinggian 31.000 kaki dan setelah itu ke 35.000 kaki. Di
atas Semarang semua penerbang baru menyadari kalau penggunaan bahan bakar di
pesawat tidak sesuai dengan perhitungan di darat. Rupanya akibat setting power
yang berubah-ubah dan pengaruh kondisi cuaca, menyebabkan penggunaan bahan
bakar menjadi lebih boros. Akhirnya, leader memutuskan agar mereka kembali
berpencar dan terbang dengan separasi menuju Lanud. Kepada petugas Tower
Iswahjudi pun, mereka meminta prioritas mendarat dan siaga penanganan bila
terjadi apa-apa.
Pengalaman
buruk lainnya, dialami Letkol Pnb Holki saat terbang dengan Kapten Pnb Suprihadi.
Yaitu ketika kanopi pesawat F-5F tiba-tiba pecah di udara. Kala itu di
ketinggian 30.000 kaki, Holki duduk di depan sementara Suprihadi duduk di kursi
belakang. Beruntunglah windshield depan tidak pecah sehingga Holki masih bisa
mengendalikan pesawat. Dan beruntung pula karena pada saat itu cuaca cerah
alias tidak sedang hujan. Bila hujan, akan lebih gawat lagi karena seluruh
kelistrikan pesawat harus dimatikan agar tidak terjadi hubungan arus pendek.
Dengan tenang Holki menurunkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki. Setelah
sampai di darat, kerusakan pun diselidiki. Ternyata pengatur tekanan udara di
kokpit tersumbat benda asing sehingga tekanan di dalam kokpit meningkat dan
memecahkan kanopi.
Keluarga
besar F-5E/F Tiger II Skadron Udara 14 juga patut berbangga karena salah satu
penerbangnya, yakni Djoko Suyanto berhasil menjadi KSAU, lalu Panglima TNI dan
kemudian menjabat sebagai Menkopolhukam.
Sumber : https://sejarahperang.wordpress.com